Halaman

Rabu, 09 Januari 2013

HUKUM ACARA PERATUN

DASAR-DASAR PERADILAN TATA USAHA NEGARA
DASAR HUKUM PEMBENTUKAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA
Dalam pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 secara tegas dan jelas disebutkan bahwa :
Pada ayat 1. kekuasaan kehakiman dilakukan oleh mahkamah agung dan lain badan kehakiman menurut undang-undang.
Ayat 2. Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman diatur dengan undang-undang.
Selanjutnya sebagai peraturan pelaksanaan dari pasal 24 UUD 1945 tersebut diundangkanlah pada waktu itu Undang-undang no. 14 tahun 1970 dimana sekarang ini telah dirubah dengan Undang-undang no.4 tahun 2004 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman, dimana dalam pasal 10 ayat 1 dinyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan :
1. Peradilan Umum
2. Peradilan agama
3. Peradilan militer
4. Peradilan Tata Usaha Negara
Berdasarkan hal tersebut maka pada tanggal 14 januari 1991 diundangkanlah melalui peraturan pemerintah yang disebut dengang Undang-Undang no. 5 Tahun 1986 dan untuk sekarang ini telah dirubah dan ditambah dengan Undang-undang no. 9 tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

BEBERAPA KARAKTERISTIK PTUN SEHINGGA MEMBEDAKANNYA DENGAN PERADILAN LAIN.
  1. Peranan Hakim yang aktif, dalam arti Hakim PTUN dituntut untuk dapat mencari kebenaran materil.
  2. Kompensasi ketidakseimbangan, Penggugat diasumsikan sebagai pihak yang lemah dibandingkan tergugat yang memegang kekuasaan publik.
  3. Mengarah pada sistim pembuktian bebas terbatas. Dengan dasar pasal 107 Undang-Undang n o. 5 tahun 1986. dinyatakan bahwa hakim menentukan apa yang harus dibuktikan.
  4. adanya larangan putusan hakim yang ultra petita ( melebihi tuntutan).
  5. adanya asas ERGA OMNES yaitu putusan tidak hanya berlaku bagi para pihak tapi juga pihak-pihak lain yang terkait.
  6. adanya asas AUDI ALTERAM PARTEM, yaitu mendengarkan penjelasan para pihak.
  7. adanya adegium ” POINT D’ INTERECHT POINT D’ ACTION dengan arti gugatan akan ada apabila ada kepentingan terlebih dahulu.
PROSES BERACARA DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA
Penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara dikenal dengan 2 macam cara :
  1. Melalui upaya administratif ( pasal 48 dan pasal 51 ayat 3
  2. Melalui Gugatan ( pasal 1 angka 5 dan pasal 53 )
Pengertian Upaya administratif adalah penyelesaian sengketa tata usaha negara dalam lingkungan administrasi pemerintahan sendiri.
Upaya administratif ini dikenal ada 2 macam :
  1. Banding administrasi, dan
  2. Keberatan
Kedua upaya tersebut diatas haruslah terlebih dahulu melihat kepada aturan dasarnya.
Maksud dari Banding Administrasi adalah sengketa tata usaha negara yang terlebih dahulu diselesaikan oleh instansi atasan atau instansi lain.
Contoh kasus ; dulu sengketa kepegawaian terlebih dahulu diselesaikan oleh BAPEK ( Badan Pertimbangan kepegawaian.
Kemudian jika prosedur ini telah ditempuh tapi tidak memuaskan maka gugatan dapat langsung ditujukan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara bukan lagi ke PTUN
Maksud dari keberatan adalah Prosedur penyelesaian oleh pembuat keputusan tata usaha negara itu sendiri.
Misalnya sengketa kepegawaian prosedur ini ditempuh langsung kepada atasan yang mengeluarkan sk pemberhentian.

BEBERAPA HAL YANG PENTING DAN POKOK DALAM PEMBUATAN GUGATAN
  1. Tentang Subjek Gugatan, adalah pihak-pihak yang berperkara.
Pihak penggugat adalah : Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan.
Pihak tergugat adalah : Badan/pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan surat keputusan.
  1. Objek gugatan :
Sesuai bunyi pasal 1 angka 3 Undang-Undang 5 tahun 1986 jo 9/2004 :
” Penetapan tertulis yang berisi tindakan hukum tata usaha negara berdasarkan peraturan perundang-undangan, yang bersifat kongkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Bedasarkan bunyi pasal tersebut ada 5 kriteria objek Gugatan/ KTUN tsb :
    1. adanya penetapan tertulis.
    2. berisi tindakan hukum tata usaha negara.
    3. berdasarkan peraturan perundang-undangan.
    4. bersifat kongkrit,individual, dan final.
    5. menimbulkan akibat hukum.
Selain yang tersebut diatas dalam pasal 3 ayat 1 ada objek yang berupa Keputusan Tata Usaha Negara Fiktif Negatif. ( fiktif karena tidak dalam bentuk tertulis/ diam, dan negatif karena mengandung makna penolakan.

Maksudnya adalah bahwa apabila badan/ pejabat TUN tidak mengeluarkan KTUN sedangkan hal tersebut menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan telah mengeluarkan KTUN penolakan, dalam jangka waktu tertentu sebagaimana diatur pasal tersebut.
Kemudian dalam pasal 2 Undang-undang no. 9 tahun 2004 juga secara tegas disebutkan yang tidak termasuk dalam KTUN adalah :
  1. KTUN yang merupakan perbuatan hukum perdata. Ex. Jual beli, sewa menyewa
  2. KTUN yang pengaturannya bersifat umum. Ex. Ttg larangan pkl
  3. KTUN yang msh memerlukan persetujuan. Ex. Belum final
  4. KTUN yang dikeluarkan berdasarkan KUHP. Ex. Ttg pkr lalu lintas
  5. KTUN yang diperiksa oleh badan peradilan lain.
  6. KTUN mengenai Tata Usaha TNI-POLRI.
  7. KTUN berupa Kept. Panitia pemilihan pusat/daerah mengenai hasil pemilu.
Selanjutnya dalam pasal 49 juga disebutkan bahwa PTUN tidak berwenang memeriksa KTUN yang dikeluarkan :
  1. Dalam waktu perang,bahaya, bencana alam, keadaan luar biasa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
  2. Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan per-UU-an yang berlaku.
TENTANG BENTUK GUGATAN. 

Termuat dalam pasal 56 UU 9/2004 tentang syarat-syarat formal gugatan
Dikelompokan atas 2 macam syarat-syarat isi gugatan :
  1. Syarat formal, yaitu tentang identitas para pihak.
  2. syarat materil, yaitu posita/ alasan gugatan dan tuntutan./petitum.
TENTANG TENGGANG WAKTU UNTUK MENGAJUKAN GUGATAN

Termaktub dalam pasal 55 UU no.9 tahun 2004 : yaitu 90 hari sjk diterima atau diketahui terbitnya SkTUN tersebut.
Contohnya : Si A menggugat SK berhenti sbg PNS diterima tgl 1 januari 2007, jadi batas waktu untuk dapat menggugat SK tsb adalah sampai dengan tanggal 30 maret 2007.

Satu persoalan :
PROSES PEMERIKSAAN GUGATAN DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA.
TAHAP-TAHAP YANG HARUS DILALUI :
- Tahap I. Penelitian administrasi, dilaksanakan oleh panitera dan staff
- Tahap II. Terdiri dari :
Proses dismissal
Apakah ada permohonan schorsing
Apakah ada permohonan pemeriksaan dengan Cuma-Cuma
Apakah ada permohonan pemeriksaan acara cepat.
Menetapkan diperiksa dengan acara biasa.
- Tahap III. Pemeriksaan persiapan.
- Tahap IV. Sidang terbuka untuk umum.

TAHAP I. PENELITIAN ADMINISTRASI
Adalah pemeriksaan gugatan yang telah masuk dan didaftar dengan mendapatkan
Dan telah menyelesaikan administrasi dengan membayar uang panjar perkara.
Dalam penelitian administrasi ini yang perlu diperhatikan adalah :
  1. dilakukan oleh petugas yang berwenang yaitu pejabat kepaniteraan
  2. adanya cap dan tanggal disudut kiri atas.
  3. tidak perlu dibubuhi materai tempel
  4. identitas penggugat harus lengkap
  5. bentuk dan isi gugatan scr formal disesuaikan dengan pasal 56
TAHAP II. PROSEDUR DISMISSAL
Adalah suatu proses penelitian terhadap gugatan yang masuk yang dilaksanakan oleh ketua ptun.
Adapun alasan-alasan dismissal secara limitatif telah diatur dalam pasal 62 ayat 1 :
  1. Pokok gugatan nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang pengadilan.
  2. syarat-syarat sebagaimana pasal 56 tidak terpenuhi.
  3. gugatan tidak berdasarkan pada alasan yang layak.
  4. apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi dalam KTUN tersebut.
  5. Gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktu.
TAHAP III. PEMERIKSAAN PERSIAPAN.
Bertujuan untuk mematangkan perkara, segala sesuatu yang akan dilakukan diserahkan kepada kebijaksanaan ketua majelis, pihak penggugat dipanggil dalam rangka untuk menyempurnakan gugatannya dan pihak tergugat untuk dimintai keterangan seputar terbitnya objek sengketa.
Hal-hal yang berkaitan dengan pemeriksaan persiapan.
  1. adanya tenggang waktu 30 hari untuk perbaikan gugatan bagi penggugat.
  2. Jika gugatan dianggap sempurna maka tidak perlu diadakan perbaikan gugatan.
  3. Bukti-bukti awal dari penggugat agar sedapat mungkin dilampirkan bersama-sama dengan gugatannya.

TAHAP IV. PERSIDANGAN TERBUKA UNTUK UMUM.
Dalam pasal 70 ayat 1, persidangan secara formal dipimpin oleh hakim ketua sidang. Adapun tahap-tahap persidangan :
  1. Pembacaan surat gugatan.
  2. Jawaban tergugat, berisi tangkisan terhadap gugatan penggugat.
Terdiri dari 2 bentuk :
    1. Jawaban eksepsi/tangkisan diluar pokok perkara. Terdiri dari :
    1. eksepsi tentang kewenangan mengadili, atau dikenal juga dengan eksepsi tentang kompetensi absolut.
    2. eksepsi tentang kewenangan relatif.
    3. eksepsi lain-lain, yaitu selain tentang eksepsi absolut dan relatif.
    1. Jawaban atas pokok perkara, berisikan sangkalan-sangkalan terhadap dalil-dalil gugatan penggugat.
Permasalahan sering timbul oleh karena sering terjadi pihak tergugat mencampuradukan bentuk eksepsi dengan jawaban pokok perkara.
  1. tahap replik, jawaban yang dibuat oleh penggugat untuk membantah jawaban tergugat.
  2. tahap duplik, jawaban tergugat atas repliknya penggugat.
  3. tahap pembuktian, alat-alat bukti yang dapat diajukan oleh para pihak adalah :
    1. Bukti-bukti surat atau tulisan
    2. Keterangan ahli
    3. Keterangan saksi
    4. Pengakuan pihak-pihak dan
    5. Pengetahuan hakim.
Setelah acara jawab menjawab selesai diakhiri dengan tahap kesimpulan, namun kesimpulan bukanlah merupakan suatu keharusan bagi para pihak.
Selanjutnya sampai pada tahap pengambilan sikap majelis, dengan pembacaan putusan.
 
MACAM-MACAM BENTUK PUTUSAN ( dasar pasal 71 ayat 1 )
  1. Gugatan ditolak ; Penggugat tidak dapat membuktikan dalil gugatannya.
  2. Gugatan dikabulkan ; Penggugat berhasil membuktikan dalil gugatannya
  3. Gugatan tidak diterima ; o karena lewat waktu
o karena Pengadilan tidak berwenang.
o Karena syarat formal gugatan tidak dipenuhi.
  1. Gugatan gugur ; Penggugat tidak hadir walau telah dipanggil secara patut.
UPAYA HUKUM.

Dalam arti : bagi pihak yang tidak puas pada putusan PTUN dapat mengajukan permohonan pemeriksaaan ditingkat Banding yaitu ke PTTUN dalam jangka waktu 14 hari kalender sejak putusan dibacakan/diberitahukan secara sah kepada para pihak.
Kemudian sama juga halnya dengan permohonan untuk pemeriksaan ditingkat kasasi oleh Mahkamah Agung RI dengan batas waktu juga 14 hari.

Selanjutnya melalui perubahan UU no 5 tahun 1986 ke Undang-undang no. 9 tahun 2004 dalam pasal 45 A (2) telah diberikan batasan untuk perkara yang bisa kasasi melalui SEMARI no. 6 tahun 2005, Perkara TUN yang objek gugatannya berupa keputusan Pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku diwilayah daerah yang bersangkutan tidak dapat diajukan kasasi.

Kemudian upaya hukum Peninjauan kembali merupakan upaya hukum bagi pihak-pihak yang tidak puas dengan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Sedangkan untuk tenggang waktu mengajukan PK ini adalah 180 hari sejak diketahui kebohongan/tipu muslihat/penemuan bukti-bukti baru.

Tambahan : tentang GUGATAN INTERVENSI
Dasar Hukum : pasal 83 UU No. 5 th 1986 jo. UU No. 9 th 2004.
Gugatan sebagai upaya mempertahankan hak tidak hanya oleh pihak-pihak yang dituju oleh KTUN tersebut tapi juga orang/badan hukum diluir pihak yang merasa kepentingannya dirugikan dengan terbitnya KTUN tersebut juga dapat pula ikut atau diikut sertakan dalam proses pemeriksaan perkara yang sedang berlangsung.
Masuknya pihak ketiga dapat dalam 2 bentuk :
  1. Karena permintaan salah satu pihak,
  2. atas prakarsa hakim yang memeriksa perkara tersebut.
Dalam prakteknya hakim pada tahap pemeriksaan persiapan memanggil pihak ketiga yang terkait dengan KTUN yang menjadi objek sengketa dan diberitahukan akan hak-hak untuk membela kepentingannya.




HUKUM ACARA PTUN dan SUBYEK OBYEKNYA


HUKUM ACARA PTUN dan SUBYEK OBYEKNYA

Hukum Acara PTUN adalah: seperangkat peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan, serta cara pengadilan bertindak satu sama lain untuk menegakkan peraturan HAN (materiil). Hukum Acara PTUN dapat pula disebut dengan Hukum Acara

Peradilan Administrasi Negara.
Secara sederhana Hukum Acara diartikan sebagai Hukum Formil yang bertujuan untuk mempertahankan Hukum Materil. Hal-hal yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya di atas, merupakan ketentuan-ketentuan tentang Hukum Materil di Peratun. Sementara itu mengenai Hukum Formilnya juga diatur dalam UU No. 5 tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004, mulai dari Pasal 53 s/d Pasal 132.Penggabungan antara Hukum Materil dan Hukum Formil ini merupakan karakteristik tersendiri yang membedakan Peradilan TUN dengan Peradilan lainnya. Untuk mengantarkan pada pembahasan tentang Hukum Acara di Peratun ini, terlebih dahulu akan diuraikan hal-hal yang merupakan ciri atau karakteristik Hukum Acara Peratun sebagai pembeda dengan Peradilan lainnya, khususnya Peradilan Umum (Perdata)

Sengketa Tata Usaha Negara dikenal dengan dua macam cara antara lain:
Melalui Upaya Administrasi (vide pasal 48 jo pasal 51 ayat 3 UU no. 5 tahun 1986)
Upaya administrasi adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh dalam menyelesaikan masalah sengketa Tata Usaha Negara oleh seseorang atau badan hokum perdata apabila ia tidak puas terhadap suatu Keputusan tata Usaha Negara, dalam lingkungan administrasi atau pemerintah sendiri.

Bentuk upaya administrasi:
1. Banding Administratif, yaitu penyelesaian upaya administrasi yang dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan Keputusan yang bersangkutan.
2. Keberatan, yaitu penyelesaian upaya administrasi yang dilakukan sendiri oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan itu.

II. Melalui Gugatan (vide pasal 1 angka 5 jo pasal 53 UU no. 5 tahun 1986)
Apabila di dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku tidak ada kewajiban untuk menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tersebut melalui Upaya Administrasi, maka seseorang atau Badan Hukum Perdata tersebut dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.

Sengketa TUN : Sengketa yang timbul dalam bidang TUN antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat TUN, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya KTUN, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Badan atau pejabat TUN : Badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan (bersifat eksekutif) berdasarkan peraturan yang berlaku.

Tujuan pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara menurut keterangan pemerintah pada saat pembahasan RUU PTUN adalah:
a. memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang bersumber dari hak-hak individu
b. memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang didasarkan kepada kepentingan bersama dari individu yang hidup dalam masyarakat tersebut. (keterangan pemerintah pada Sidang Paripurna DPR RI. mengenai RUU PTUN tanggal 29 April 1986).

Menurut Sjahran Basah (1985;154), Tujuan peradilan administrasi adalah untuk memberikan pengayoman hukum dan kepastian hukum, baik bagi rakyat maupun bagi administrasi negara dalam arti terjaganya keseimbangan kepentingan masyarakat dan kepentingan individu.

SF Marbun menyoroti tujuan peradilan administrasi secara preventif dan secara represif.Fungsi Peradilan Tata Usaha Negara adalah sebagai sarana untuk menyelesaikan konflik yang timbul antara pemerintah (Badan/Pejabat TUN) dengan rakyat (orang perorang/badan hukum perdata). Konflik disini adalah sengketa tata usaha negara akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara.


SUBYEK PTUN

Para pihak yang berperkara di Pengadilan Tata Usaha Negara adalah:

1. pihak penggugat.
Yang dapat menjadi pihak penggugat dalam perkara di Pengadilan Tata Usaha Negara adalah setiap subjek hukum, orang maupun badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan dengan dikeluarkannya keputusan Tata Usaha Negara oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara di Pusat maupun di Daerah (Pasal 53 ayat (1) jo Pasal 1 angka 4 UU no. 5 tahun 1986).
Dalam Kepustakaan hokum tata usaha Negara yang ditulis sebelum berlakunnya undang-undang Nomor 5 tahun 1986,masih dimungkinkan BUMN atau Pejabat Tata Usaha Negara bertindak sebagai penggugat tetapi setelah berlakunya Undand-undang Nomor 5 tahun 1986,hal tersebut sudah tidak dimungkinkan lagi hanya saja untuk BUMN ada yang mempunyai pendapatbahwa BUMN dapat juga bertindak sebagaipenggugat dalam sengketa Tata Usaha Negarakhusus tentang sertifikat tanah,karna alas hak dari gugatan adalah hak keperdataan dari BUMN tersebut.

Oleh karna itu unsur kepentingan yang terdapat dalam pasal 53 ayat (1) sangat penting dan menentukan agar seseorang atau badan hokum perdata dapat bertindak sebagai badan hokum perdata dapat sebagai penggugat

2. pihak tergugat

.Pihak tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya (Pasal 1 angka 6 UU no. 5 tahun 1986).
Yang dimaksud wewenang tersebut adalah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.oleh SF.MARBUN dikemukakan bahwa:menurut hokum administrasi,pengertian kewenangan adalah kekuasaan yang diformalkan,baik dalam suatu bidang pemerintahan yang berasal dari kekuasaan legislative atau dari kekuasaan pemerintah,sedangkan pengertian wewenang hanya onderdil tertentu atau bidang tertentu.dengan demikian wewenang adalah kemampuan bertindak yang diberikan undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan hokum tersebut

Apa yang dimaksud dengan Badan atau Pejabat TUN dalam praktek Peradilan Tata Usaha Negara selama ini menganut kriteria fungsional. Jadi ukurannya adalah, sepanjang Badan atau Pejabat TUN tersebut “berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan yang dikerjakan berupa kegiatan urusan pemerintahan”.  Sehingga tolok ukurnya adalah asalkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (berdasarkan ketentuan hukum baik yang tertulis atau yang tak tertulis untuk memenuhi asas legalitas tindakan pemerintah) dan yang dikerjakan berupa kegiatan urusan pemerintahan

3.Pihak Ketiga yang berkepentingan
  1. Selama pemeriksaan berlangsung, setiap orang yang berkepentingan dalam sengketa pihak lain yang sedang diperiksa oleh Pengadilan, baik atas prakarsa sendiri dengan mengajukan permohonan, maupun atas prakarsa Hakim dapat masuk dalam sengketa Tata Usaha Negara, dan bertindak sebagai: pihak yang membela haknya; atau peserta yang bergabung dengan salah satu pihak yang bersengketa (pasal 83)
  2. Apabila pihak ketiga yang belum pernah ikut serta atau diikut sertakan selama waktu pemeriksaan sengketa yang bersangkutan, pihak ketiga tersebut berhak mengajukan gugatan perlawanan terhadap pelaksanaan putusan pengadilan tersebut kepada Pengadilan yang mengadili sengketa tersebut pada tingkat pertama (pasal 118 ayat 1)

OBYEK PTUN

Berdasarkan ketentuan Pasal 53 ayat (1) jo Pasal 1 angka 4 jo Pasal 3 UU no. 5 tahun 1986, dapat disimpulkan yang dapat menjadi objek gugatan dalam sengketa Tata Usaha Negara adalah:
1. Keputusan Tata Usaha Negara
“suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan Hukum Tata Usaha Negara berdasarkan Peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat konkret, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau Badan Hukum Perdata.” (Pasal 1 angka 3 UU no. 5 tahun 1986).
2. yang dipersamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara
yang dimaksud diatas adalah sebagaimana yang disebut dalam ketentuan Pasal 3 Uu no. 5 tahun 1986:
1. apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal ini menjadi kewajiban, maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara.
2. jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam Peraruran perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud.
3. dalam hal Peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) : “maka setelah lewat waktu 2 (empat) bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan Keputusan Penolakan.”

 NEGARA HUKUM DAN PERADILAN ADMINISTRASI
A. Negara Hukum
Negara hukum menghendaki segala tindakan atau perbuatan penguasa mempunyai dasar hukum yang jelas atau ada legalitasnya baik berdasarkan hukum tertulismaupun berdasarkan hukum tidak tertulis. Negara hukum pada dasarnya tertuma bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi rakyat. Menurut Philipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindakan pemerintahan dilandasi oleh dua prinsip, prinsip HAM dan Prinsip Negara Hukum. Menurut Philipus M. Hadjon Negara hukum hanya 3 macam konsep yaitu rechtsstaat, the rule of law, dan Pancasila.
M. Tahir Azhari Negara hukum ada 5 konsep yaitu:
1. Nomokrasi Islam: konsep Negara hukum yang pada umumnya diterapkan di Negara-negara Islam.
2. rechtsstaat: konsep Negara yang diterapkan di Negara-negara Eropa Kontinental, misalnya: Belanda, Jerman, Prancis.
3. Rule of Law: Konsep Negara yang di terapkan di Negara Aglo Saxon, Misal: Inggris, Amerika Serikat.
4. Socialist Legality: Konsep Negara hukum yang diterpkan di Negara komunitas.
5. Konsep Negara hukum Pancasila adalah konsep Negara hukum yang diterapkan di Indonesia. Salah satu cirri-ciri pokok dalam Negara hukum Pancasila ialah adanya jaminan terhadap fredoom of religion atau kebebasan beragama, Tetapi kebebasan beragama di Negara hukum Pancasila selalu dalam konotasi yang positif, artinya tiada tempat bagi ateisme atau propaganda anti agama di Bumi di Indonesia.

B. Negara Hukum Pancasila dan Peradilan Administrasi
Dasar peradilan dalam UUD 45 dapat ditemukan dalam pasal 24. Sebagai pelaksanaan dalam pasal 24 UUd 1945, dikeluarkanlah UU No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan kehakiman.kekuasan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan:
1. Peradilan Umum
2. Peradilan Agama
3. Peradilan militer
4. Peradilan Tata Usaha Negara
Dengan berlakunya UU No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang berdasarkan Pasal 144 dapat disebut UU peradilan Administrasi Negara, maka dewasa ini perlindungan hukum terhadap warga masyarakat atas perbuatan yang dilakukan oleh penguasa dapat dilakukan melalui badan yakni:
a. Badan Tata Usaha Negara, dengan melalui upaya administrative.
b. Peradilan Tata Usaha Negara, Berdasarkan UU No. 5 tahun 1986 tentang PTUN.
c. Peradilan Umum, melalui Pasal 1365 KUHPer.



BAB II
PENGERTIAN, ASAS-ASAS, DAN KOMPETENSI PTUN

A. Pengertian
Menurut Rozali Abdullah, hukum acara PTUN adalah rangkaian perturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan Tata Usaha Negara. Pengaturan terhadap hukum formal dapat digolongkan menjadi dua bagian, Yaitu:
1. Ketentuan prosedur berperkara diatur bersama-sama dengan hukum materiilnya peradilan dalam bentuk UU atau perturan lainnya.
2. Ketentuan prosedur berperkara diaturtersendiri masing-masing dalam bentuk UU atau bentuk peraturan lainnya.
Hukum acara PTUN dalam UU PTUN dimuat dalam Pasal 53 samapai dengan pasal 141. UU PTUN terdiri atas 145 pasal. Dengan demikian komposisi hukum materiil dan hukum formilnya adalah hukum materiil swebanyak 56 pasal, sedangkan hukum materiil sebanyak 89 pasal.

B. Asas Hukum Acara PTUN
Menurut Scholten memberikan definisi asas hukum adalah pikiran-pikiran dasar yang terdapat didalam dan di belakang system hukum masing-masing dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim,yang berkenaan dengannya ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat dipandang sebagai penjabarannya.
Asas Hukum PTUN
1. Asas praduga Rechtmating ( Vermoeden van rechtmatigheid, prasumptio iustae causa). Ini terdapat pada pasal 67ayat 1UU PTUN.
2. Asas gugatan pada dasarnya tidak dapat menunda pelaksanaan KTUN yang dipersengketakan, kecuali ada kepentingan yang mendesak dari penggugat. Terdapat pada pasal 67ayat 1dan ayat 4 huruf a.
3. Asas para pihak harus didengar (audi et alteram partem)
4. Asas kesatuan beracara dalam perkara sejenis baik dalam pemeriksaan di peradilan judex facti, maupun kasasi dengan MA sebagai Puncaknya.
5. Asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas dari segala macam campur tangan kekuasaan yang lain baik secara langsung dan tidak langsung bermaksud untuk mempengaruhi keobyektifan putusan peradilan. Pasalb 24 UUD 1945 jo pasal 4 4 UU 14/1970.
6. Asas peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan ringan ( pasal 4 UU 14/1970).
7. Asas hakim aktif. Sebelum dilakukan pemeriksaan terhadap pokok sengketa hakim mengadakan rapat permusyawaratn untuk menertapakan apakah gugatan dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar atau dilengkapi dengan pertimbangan (pasal 62 UU PTUN), dan pemeriksaan persiapan untuk mengetahui apakah gugatan penggugat kurang jelas, sehingga penggugat perlu untuk melengkapinya (pasal 63 UU PTUN).
8. Asas siding terbuka untuk umum. Asas inimembawa konsekuensi bahwa semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila di ucapkan dalam siding terbuka untuk umum (pasal 17 dan pasal 18 UU 14/1970 jo pasal 70 UU PTUN).
9. Asas peradilan berjenjang. Jenjang peradilan di mulai dari tingkat yang paling bawah yaitu Pengadilan Tata Usaha Negara, kemudian Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, dan puncaknya adalah Mahkamah Agung.
10. Asas pengadilan sebagai upaya terakhir untuk mendapatkan keadilan. Asas ini menempatkan pengadilan sebagai ultimatum remedium. ( pasal 48 UU PTUN).
11. Asas Obyektivitas. Untuk tercapainya putusan yang adil, maka hakim atau panitera wajib mengundurkan diri, apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau hubngan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan tergugat, penggugat atau penasihat hukum atau antara hakim dengan salah seorang hakim atau panitera juga terdapat hubungan sebagaimana yang di sebutkan di atas, atau hakim atau paniteratersebut mempunyai kepentingan langsung dan tidak langsung dengan sengketanya. (pasal 78 dan pasal 79 UU PTUN).




C. Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara
Kompetensi dari suatu pengadilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan suatu perkara berkaitan dengan jenis dan tingkatan pengadilan yang ada berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Cara untuk dapat mengetahui Kompetensi suatu pengadilan:
1. Dapat dilihat dari pokok sengketanya (geschilpunt, fundamentum petendi)
2. Dengan melakukan pembedaan atas atribusi (absolute competentie atau attributie van rechtmacht) dan delegasi (relatieve competentie atau distributie van rechtsmacht).
3. Dengan melakukan pembedaan atas kompetensi absolute dan kompetensi relatif.


BAB II
Persamaan dan Perbedaan Hukum Acara PTUN dengan Hukum Acara Perdata.


A. Persamaan Antara Hukum Acara Pengadilan TUN dengan Hukum acara Perdata
1. Pengajuan gugatan.
Pengajuan gugatan menurut hukum acara PTUN di atur dalam Pasal 54 UU PTUN, Hukum acara perdata di atur dalam pasal 118 HIR. Berdasarkan itu bahwa gugatan sama-sama diajukan ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal tergugat.
2. Isi Gugatan
Isi gugatan hukum acara PTUN diatur dalam pasal 56 UU PTUN, dan Hukum acara perdata diatur dalam pasal 8 Nomor 3 Rv.
Isi gugatan terdiri dari yaitu:
a. Identitas para pihak
b. Posita
c. Petitum
3. Pendaftaran Perkara
Pendaftaran perkara Hukum acara PTUN diatur dalam Pasal 59 UU PTUN, dan Hukum acara Perdata pada pasal 121 HIR. Persamaannya adalah penggugat membayar uang muka biaya perkara, gugatan kemudian kemudian di daftarkan panitera dalam buku daftar perkara. Bagi penggugat yang tidak mampu boleh tidak untuk membayar uang muka biaya perkara, dengan syarat membawa surat keterangan tidak mampu dari kepala desa atau lurah setempat (pasal 60 UU PTUN dan Pasal 237 HIR).
4. Penetapan Sidang
Penetapan hari siding di atur dalam pasal 59 ayat 3 dan pasal 64 UU PTUN, Hukum Acara perdata pada pasal 122 HIR. Setelah di daftarkan dalam buku daftar perkara maka hakim menentukan hari, jam, tempat persidangan, dan pemanggilan para pihak untuk hadir. Dan hakim harus sudah menentukan selambat-lambatnya 30 hari setelah gugatan terdaftar.


5. Pemanggilan Para Pihak
Pemanggilan para pihak menurut hukum acara PTUN diatur dalam pasal 65 dan 66 UU PTUN, sedangkan hukum acara perdata diatur dalam pasal 121 ayat 1 HIR dan pasal 390 ayat 1 dan pasal 126 HIR. Dalam Hukum acara TUN jangka waktu antara pemanggilan dan hari siding tidak boleh kurang dari 6 hari, kecuali sengketanya tersebut diperiksa dengan acara cepat. Panggilan dikirim dengan surat tercatat.
6. Pemberian Kekuasaan
Pemberian kekuasaan terhadap kedua belah pihak menurut hukum acara PTUN diatur dalam pasal 57 UU PTUN, hukum acara perdata diatur dalam pasal 123 ayat 1 HIR. Pemberian kuasa dialkukan sebelumperkara diperiksa harus secara tertulis dengan membuat surat kuasa khusus. Dengan ini si penerima kuasa bisa melakukan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan jalannya pemeriksaan perkara untuk dan atas nama si pemberi kuasa.
7. Hakim Majelis
Pemerisaan perkara dalam hukum acara PTUN dan acara perdata dilakukan dengan hakim majelis (3 orang hakim), yang terdiri atas satu orang bertindak selaku hakim ketua dan dua orang lagi bertindak selaku hakim anggota (pasal 68 UU PTUN).
8. Persidangan Terbuka untuk Umum
Ketentuan ini diatur dalam pasal 70 ayat 1 UU PTUN, sedangkan hukum acara perdata diatur dalam pasal 179 ayat 1 HIR. Setiap orang dapat untuk hadir dan mendengarkan jalannya pemeriksaan perkara tersebut. Apabila hakim menyatakan sidang yang tidak dinyatakan terbuka untuk umum berarti putusan itu tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum serta mengakibatkan batalnya putusan itu menurut hukum, kecuali hakim memandang bahwa perkara tersebut manyangkut ketertiban umum, keselamatan Negara, atau alasan-alasan lainnya yang di muat dalam berita acara.
9. Mendengar Kedua Belah Pihak
Dalam pasal 5 ayat 1 UU 14/1970 disebutkan bahwa pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang. Hakim boleh mengangkat orang-orang sebagai juru bahasa, juru tulis, dan juru alih bahasa demi kelancaran jalannya persidangan.


10. Pencabutan dan Perubahan Gugatan
Penggugat dapat sewaktu-waktu mencabut gugatannya, sebelum tergugat memberikan jawaban. apabila sudah memberikan jawabannya yang di ajukan penggugat maka akan dikabulkan oleh hakim (pasal 76 UU PTUN dan pasal 271 Rv). Dalam hukum acara perdata berdasarkan pasal 127Rv, perubahan dapat dilakukan sepanjang tidak mengubah atau menambahkan petitum.
11. Hak Ingkar
Untuk tercapainya putusan yang adil, maka hakim atau panitera wajib mengundurkan diri, apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau hubngan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan tergugat, penggugat atau penasihat hukum atau antara hakim dengan salah seorang hakim atau panitera juga terdapat hubungan sebagaimana yang di sebutkan di atas, atau hakim atau paniteratersebut mempunyai kepentingan langsung dan tidak langsung dengan sengketanya (pasal 78 dan pasal 79 UU PTUN).
12. Pengikutsertaan Pihak Ketiga
Ketentuan ini diatur dalam pasal 83 UU PTUN. Pihak hadir selama pemeriksaan perkara berjalanbaik atas prakarsa dengan mengajukan permohonan maupunatas prakarsa hakim dapat masuk sebagai pihak ketiga(intervenient) yang membela kepentingannya. Karena pangkal sengketa atau obyek sengketa TUN adalah KTUN, maka masuknya pihak ketiga ke dalam sengketa tersebut tetap harus memperhatikan kedudukan para pihak.
13. Pembuktian
Penggugat terlebih dahulu memberikan pembuktian, lalu kewajiban tergugat untuk membuktikan adalah dalam rangka membantah bukti yang di ajukan oleh penggugat dengan mengajukan bukti yang lebih kuat(pasal 100 sampai dengan pasal 107 UU PTUN dan pasal 163 dan 164 HIR. Yang di buktikan peristiwanya bukan hukumnya karena ex offocio hakim dianggap tahu tentang hukumnya( ius curia novit).
14. Pelaksanaan Putusan Pengadilan
Ketentuan ini diatur dalam pasal 115 UU PTUNdan pasal 116 UU PTUN dan pasal 195 HIR. Apabila yang dikalahkan tidak mau secara suka rela memenuhi isi putusan yang dijatuhkan, maka pihak yang dimenangkan dapat mengajukan permohonan pelaksanaan putusan kepada pengadilan yang menjatuhkan putusan itu dalam tingkat pertama ( pasal 116 UU PTUN dan Pasal 196 dan pasal 197 HIR.
15. Juru Sita
Ketentuan ini pada pasal 33 ayat 3 UU No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman (UUKPKK-70), makahanya mengatur tugas jurusita perkara perdata, yang menyebutkan bahwa pelaksanaan keputusan pengadilan dalam perkara perdata dilakukan oleh panitera dan juru sita dipimpin oleh ketua pengadilan.
B. Perbedaan Antara Hukum Acara PTUN dengan Hukum Acara Perdata
1. Obyek Gugatan
Objek gugatan TUN adalah KTUN yang mengandung perbuatan onrechtsmatingoverheid daad (perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh penguasa. Hukum acara perdata adalah onrechtmating daad (perbuatan melawan hukum)
2. Kedudukan Para Pihak
Kedudukan para pihak dalam sengketa TUN, selalu menempatkan seseorang atau badan hukum perdata sebagai pihk tergugat dan badan atau pejabat TUN sebagai pihak tergugat. Pada hukum acara perdata para pihak tidakn terikat pada kedudukan.
3. Gugat Rekonvensi
Dalam hukum acara perdata dikenal dengan gugat rekonvensi (gugat balik), yang artinya gugatan yang diajukan oleh tergugat terhadap penggugat dalam sengketa yang sedang berjalan antar mereka.
4. Tenggang Waktu Pengajuan Gugatan
Dalam hukum acara TUN pengajuan gugatan dapat dilakukan dalam tenggang waktu 90 Hari.
5. Tuntutan Gugatan
Dalam hukum acara perdata boleh dikatakan selalu tuntutan pokok itu (petitum primair) disertai dengan tuntutan pengganti atau petitum subsidiar. Dalam hukum acara PTUN hanya dikenal satu macam tuntutan poko yang berupa tuntutan agar KTUN yang digugat itu dinyatakan batal atau tidak sah atau tuntutan agar KTUN yang dimohonkan oleh penggugat dikeluarkan oleh tergugat.


6. Rapat Permusyawaratan
Dalam hukum acara perdata tidak dikenal Rapat permusyawaratan. Dalam hukum acara PTUN, ketentuan ini diatur pasal 62 UU PTUN.
7. Pemeriksaan Persiapan
Dalam hukum acara PTUN juga dikenal Pemeriksaan persiapan yang juga tidak dikenal dalam hukum acara perdata. Dalam pemeriksaan persiapan hakim wajib member nasehat kepada pengugat untuk memperbaiki gugatan dalam jangka waktu 30 hari dan hakim memberi penjelasan kepada badan hukum atau pejabat yang bersangkutan.
8. Putusan Verstek
Kata verstek berarti bahwa pernyataan tergugat tidak dating pada hari sidang pertama. Apabila verstek terjadi maka putusan yang dijatuhkan oleh hakim tanpa kehadiran dari pihak tergugat. Ini terjadi karena tergugat tidak diketahui tempat tinggalnya. PTUN tidak mengenal Verstek.
9. Pemeriksaan Cepat
Dalam hukum acara PTUN terdapat pada pasal 98 dan 99 UU PTUN, pemeriksaan ini tidak dikenal pada hukum acara perdata. Pemerikasaan cepat dilakukan karena kepentingan penggugat sangat mendesak, apabila kepentingan itu menyangkut KTUN yang berisikan misalnya perintah pembongkaran bangunan atau rumah yang ditempati penggugat.
10. Sistem Hukum Pembuktian
Sistem pembuktian vrij bewijsleer) dalam hukum acara perdata dilakukan dalam rangka memperoleh kebenaran formal, sedangkan dalam hukum acara PTUN dilakukan dalam rangka memperoleh kebenaran materiil (pasal 107 UU PTUN).
11. Sifat Ega Omnesnya Putusan Pengadilan
Artinya berlaku untuk siapa saja dan tidaka hanya terbatas berlakunya bagi pihak-pihak yang berperkara, sama halnya dalam hukum acara perdata.
12. Pelaksanaan serta Merta (executie bij voorraad)
Dalam hukum acara PTUN tidak dikenal pelaksanaan serta merta sebagaimana yang dikenaldalam hukum acara perdata. Ini terdapat pada pasal 115 UU PTUN.


13. Upaya pemaksa Agar Putusan Dilaksanakan
Dalam hukum acara perdata apabila pihak yang dikalahkan tidak mau melaksanakan putusan secara sukarela, maka dikenal dengan upaya emaksa agar putusan tersebut dilaksanakan. Dalam hukum acara PTUN tidak di kenal karena bukan menghukum sebagaimana hakikat putusan dalam hukum acara perdata. Hakikat hukum acara PTUN adalah untuk membatalkan KTUN yang telah dikeluarkan.
14. Kedudukan Pengadilan Tinggi
Alam hukum acara perdata kedudukan pebgadilan tinggi selalu sebagai pengadilan tingkat banding, sehingga tiap perkara tidak dapat langsung diperiksa oleh pengadilan tinggi tetapi harus terlebih dahulu melalui pengadilan tingkat pertama (pengadilan Negeri). Dalam hukum acara PTUN kedudukan pengadilan tinggi dapat sebagai pengadilan tingkat pertama.
15. Hakim Ad Hoc
Hakim Ad Hoc tidak dikenal dalam hukum acara perdata, apabila diperlukan keterangan ahli dalam bidang tertentu, hakim cukup mendengarkan keterangan dari saksi ahli. Dalam hukum acara PTUN diatur pasal 135 UU PTUN. Apabila memerlukan keahlian khusus maka ketua pengadilan dapat menujuk seorang hakim Ad Hoc sebagai anggota majelis.


BAB IV
Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara

A. Pangkal Sengketa
Pangkal sengketa tata usaha negara dapat diketahui dengan menentukan apa yang menjadi tolak ukur sengketa tata usaha negara. Tolak ukur sengketa tata usaha negara adalah tolak ukur subyek dan pangkal sengketa. Tolak ukur subyek adalah para pihak yang bersengketa dalam hukum administrasi negara (tata usaha negara). Tolak ukur pangkal sengketa adalah sengketa administrasi yang diakibatkan oleh ketetapan sebagai hasil perbuatan administrasi negara.
Sengketa administrasi (pasal 1 angka 4 UU PTUN) dibedakan menjadi 2 yaitu:
1. Sengketa Intern
Sengketa intern adalah menyangkut persoalan kewenangan pejabat TUN yang disengketakan dalam satu departemen (instansi), atau kewenangan suatu departemen (instansi) terhadap departemen lainnya yang disebabkan tumpang tindih kewenangan, sehingga menimbulkan kekaburan kewenagan.
2. Sengketa Ekstern
Sengketa ekstern atau sengketa administrasi negara dengan rakyat adalah perkara administrasi yang menimbulkan sengketa antara administrasi negara dengan rakyat sebagai subyek-subyek yang berperkara ditimbulkan oleh unsur dari unsur peradilan administrasi murni yang mensyaratkan adanya minimal dua pihak dan sekurang-kurangnya salah satu pihak harus administrasi negara, yang mencakup administrasi negara di tingkat pusat, adminstrasi negara tingkat daerah, maupun administrasi negara pusat yang ada di daerah.
Unsur-unsur KTUN (pasal 1 angka 3 UU PTUN) yaitu:
1. Suatu penetapan tertulis
Penetapan tertulis ini semata-mata untuk kemudahan segi pembuktian, terutama menunjuk kepada isi bukan bentuk (form).
2. Badan atau pejabat TUN
Badan atau pejabat TUN di pusat dan di daerah yang melakukan kegiatan yang bersifat eksekutif.
3. Tindakan hukum TUN
Perbuatan hukum badan atau pejabat TUN yang bersumber pada suatu ketentuan hukum TUN yang menimbulkan hak atau kewajiban apada orang lain.
4. Bersifat konkret
Objek yang di putuskan KTUN tidak Abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan.
5. Bersifat individual
KTUN tidak ditujukan pada umum tetapi tertentu baik alamat maupun hal yang dituju kalau yang dituju itu lebih dari seorang, tiap-tiap nama orang yang dikena keputusan itu disebutkan. Missal: keputusan pelebaran jalan.
6. Bersifat Final
KTUN yang dikeluarkan itu bersifat definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum. KTUN yang masih memerlukan persetujuan belum bersifat final. misal: Pengangkata seorang PNS perlu persetujuan dari BAKN.

B. Kedudukan Para Pihak dalam Sengketa TUN
Dalam pasal 1 angka 4 UU PTUN diketahui bahwa kedudukan para pihak dalam sengketa tata usaha negara adalah orang (individu) atau badan hukum perdata sebagai pihak penggugat dan badan atau pejabat tata usaha negara sebagai pihak tergugat.
Orang (individu) atau badan hukum perdata yang di rugikan akibat dikeluarkannya KTUN. Digolongkan menjadi 3:
1. Orang (individu) atau badan hukum perdata sebagai alamat yang dituju oleh KTUN.
2. orang (individu) atau badan hukum perdata yang dapat disebut pihak ketiga yang mempunyai kepentingan dan organisasi kemasyarakatan.
3. Badan atau pejabat TUN yang tidak boleh menggugat oleh UU PTUN.
Kepentingan ini dalam kaitannya yang berhak menggugat apabila bersifat langsung, pribadi, obyek dapat ditentukan dan atau kepentingan berhubungan dengan KTUN.

C. Para Pihak dalam Sengketa TUN
Para pihak dalam sengketa TUN adalah orang (individu) atau badan hukum perdata sebagai pihak penggugat dan badan atau pejabat tata usaha negara sebagai pihak tergugat.
D. Jalur Penyelesaian Sengketa TUN
Dalam pasal 48 UU P TUN nomor 5 tahun 1986 UU PTUNmenjelaskan upaya administrative, itu merupakan prosedur yang ditentukan dalam suatu peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan sengketa dalam TUN yang dilaksanakan di lingkungan pemerintah sendiri yang terdiri dari prosedur keberatan dan prosedur banding administratif.
Perbedaan penting antara upaya administratif dan PTUN adalah bahwa PTUN hanayalah memeriksadan menilai dari segi hukumnya saja. Sedangkan penilaian dari segi kebijasanaan bukan wewenang PTUN. Pemeriksaan melalui upaya administrative, badan TUN selaian berwenang menilai segi hukumnya, juga berwenang menilai segi kebijaksanaannya. Dengan demikian penyelesain sengketa melalui upaya administratif menjadi lebih lengkap, tetapi, penilaian secara lengkap tersebut tidak termasuk pasda prosedur banding. Pada prosedur banding, badan hukum TUN hanya melakukan penilaian daregi hukumnya saja.


BAB V
Gugatan ke PTUN


A. Alasan Mengajukan Gugatan
Alasan mengajukan gugatan diatur dalam Pasal 53 ayat 2 UU PTUN. Dalam mengajukan gugatan ada beberapa asas :
1. Asas kepastian hukum
2. Asas tertib penyelenggaraan negara
3. Asas kepentingan umum
4. Asas keterbukaan
5. Asas proposionalitas
6. Asas profesionalitas
7. Asas Akuntabilitas

B. Tenggang Waktu Mengajukan Gugatan
Tenggang waktu mengajukan gugatan diatur dalam pasal 55 UU PTUN. Tengang waktu untuk mengajukan gugatan Sembilan puluh hari tersebut dihitung secara bervariasi:
1. Sejak hari diterimanya KTUN yang digugat itu memuat nama penggugat.
2. Setelah lewatnya tenggang waktu yang ditetapkan dalam aturan perundang-undangan yang memberikan kesempatan kepada administrasi negara untuk memberikan keputusan namun ia tidak berbuat apa-apa.
3. Setelah 4 bulan apabila peraturan perundang-undangan tidak memberikan kesempatan kepada administrasi negara untuk memberikan keputusan dan ternyata ia tidak berbuat apa-apa.
4. Sejak hari pengumuman apabila KTUN itu harus di umumkan.

C. Syarat-Syarat Gugatan
Syarat gugatan diatur daljm pasal 56 UU PTUN. Syaratnya adalah:
1. Gugatan harus memuat:
a. Nama, kewaganegaraan, temap[at tinggal, dan pekerjaanpenggugat atau kuasa hukumnya.
b. Nama jabatan, dan tempat kedudukan tergugat
c. Dasar gugatan dan hal-hal yang diminta untuk diputuskan pengadilan
2. Apabila gugatan dibuat oleh dan ditanda tangani oleh seorang kuasa pengugat maka harus disertai surat kuasa yang sah.
3. Gugatan sedapat mungkin juga disertai KTUN yang disengketakan oleh penggugat.
4. Surat Gugatan harus bermaterai

D. Tuntutan dalam Gugatan
Ketentuan dalam pasal 53 ayat 1 UU PTUN harus dikaitkan dengan pasal 3 UU PTUN tentang KTUN negatif dan pasal 117 ayat 2 tentang tuntutan sejkumlah uang atau kompensasi.
Dari situ diperoleh perihal tuntutan apa saja yang dapat diajukan dalam gugatan:
1. Tuntutan agar KTUN yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN itu dinyatakan batal atau tidak sah atau
2. Tuntutan agar badan atau pejabat TUN yang digugat untuk mengeluarkan KTUN yang di mohonkan penggugat atau tanpa
3. Tuntutan ganti rugi dan atau
4. Tuntutan rehabilitas dengan atau tanpa kompensasi

E. Permohonan Beracara dengan Cuma-Cuma
Pada dasarnya mengajukan gugatan ke pengadilan penggugat harus membayar terlebih dahulu membayar uang muka biaya perkara. Tetapi dalam hal tertentu penggugat membayar Cuma-Cuma (pasal 60 dan 62 UU PTUN). Penggugat dapat tidak membayar uang perkara apabila tidak mampu. Ketidakmampuan itu sudah diperiksa oleh ketua pengadilan dan telah dikabulkan, dan penggugat harus membawa surat keterangan tidak mampu dari kepala desa.


BAB VI
Acara Pemeriksaan di PTUN

A. Pemeriksaan dengan Acara Singkat
Pemeriksaan dengan acara singkat di PTUN dapat dilakukan apabila terjadi perlawanan atas penetapan yang diputuskan oleh ketua pengadilan dalam rapat permusyawaratan (pasal 62 UU PTUN).
Pemeriksaan dengan Acara Singkat mempunyai kelebihan dan kelemahan juga yaitu Kelebihannya adalah
1. Dapat mengatasi berbagai rintangan yang mungkin akan terjadi penghalang dalam penyelesaian secara cepat sengketa-sengketa TUN,
2. Dapat mengatasi harus masuknya perkara-perkara sebenarnya tidak memenuhi syarat, dan
3. dapat dihindarkan pemeriksaan perkara-perkara menurut acara biasa yang tidak perlu memakan banyak waktu dan biaya.
Kelemahannya adalah jangka waktu empat belas hari dalam melakukan perlawanan terhitung sejak penetapan dismissal itu di ucapkan dapat menjadi tidak realistis, karena dapat saja pada waktu itu diucapkan berhalangan hadir.

B. Pemeriksaan Persiapan
Setelah melalui tahap rapat permusyawaratan, maka dilakukan pemerksaan persiapan terhadap gugatan yang di ajukan oleh penggugat (pasal 63 UU PTUN). Tujuan pemerikasaan persiapan adalah untuk mematangkan perkara, dengan cara memanggil penggugat untuk menyempurnakan gugatannya dan atau memanggil tergugat untuk dimintai keterangan tentang keputusan yang digugat. Semua itu harus diserahkan kepada kearifan dan kebijakan ketua majelis.

C. Pelaksanaan Permohonan Penangguhan Pelaksanaan KTUN.
Pelaksanaan permohonan penangguhan pelaksanaan KTUN diatur dalam pasal 67 UU PTUN. Pelaksanaan permohonan penangguhan pelaksanaan KTUN akan dikabulkan apabila
1. Keadaan yang sangat mendesak, misal kerugian yang akan di tanggung penggugat tidak seimbang dengan manfaat bagi kepentingan yang akan dilindungi oleh pelaksanaan KTUN.
2. Pelaksanaan KTUN yang digugat tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan umum dalam rangka pembangunan.

D. Pemeriksaan dengan Acara Cepat
Pemeriksaan dengan acara cepat diatur pasal 98 dan 99 UU PTUN. Dalam hukum acara PTUN terdapat pada pasal 98 dan 99 UU PTUN, pemeriksaan ini tidak dikenal pada hukum acara perdata. Pemerikasaan cepat dilakukan karena kepentingan penggugat sangat mendesak, apabila kepentingan itu menyangkut KTUN yang berisikan misalnya perintah pembongkaran bangunan atau rumah yang ditempati penggugat.
Pemeriksaan dengan acara cepat dilakikan dengan hakim tunggal. Tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian bagi kedua belah pihak masing-masing tidak melebihi empat belas hari.

E. Pemeriksaan dengan Acara Biasa
Pemeriksaan dengan acara biasa diatur dalam pasal 97 UUPTUN. Dari pasal itu dikemukakan Pemeriksaan dengan Acara Biasa adalah bahwa dengan Pemeriksaan dengan Acara Biasa dilakukan dengan majelis hakim ( 3 hakim). Hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali menyangkut ketertiban umum atau keselamatan negara, persidangan dinyatakan dengan tertutup untuk umum.


BAB VII
Pembuktian

A. Alat-alat Bukti
Dalam pasal 100 sampai dengan 106 UU PTUN alat-alat bukti yang yang dapat diajukan dalam acara hukum PTUN adalah:
1. Surat atau tulisan
Surat sebagai alat bukti ada 3:
a. Akta aotentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum yang menurut perturan perundang-undangan yang berwenang membuat surat ini dengan maksud untuk dipergunakan alat bukti tentang peristiwa hukum yang tercantum didalamnya.
b. Akta dibawah tangan yaitu surat yang di buat dan di tandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk digunakan sebagi alat bukti.
c. Surat-surat lain yang bukan ahli.
2. Keterangan ahli
Pendapat orang yang diberikan sumpah dalam persidangan dalam tentang hal yang ia ketahui menurut pengetahuan dan pengalamnanya. Pasal 88 UU PTUN menjelaskan tidsak boleh mendengarkan keterangan ahli. Atas permintaan kedua belah pihak atau salah satu pihak atau karena jabatannya hakim ketua sidang dapat menunjuk seorang atau beberapa ahli.
3. Keterngan saksi
Dalam pasal 88 UU PTUN disebutkan yang tidak boleh didengar sebagai saksi adalah:
a. Keluarga sedarah
b. Istri atau suami salah seorang pihak meski sudah bercerai
c. Anak yang belum berusia tujuh belas tahun
d. Orang sakit ingatan
Dalam pasal 89 UU PTUN yang berhak mengundurkan diri sebagai ahli adalah:
a. Saudara laki-laki atau perempuan, ipar laki-laki dan perempuan salah satu pihak
b. Setiap orang yang karena martabat pekerjaan atau jabatannya diwajibkan merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan martabat, pekerjaan atau jabatanhnya itu.
4. Pengakuan para pihak
Pengakuan dari para pihak tidak dapat ditarik kembali kecuali dengan alasan yang kuatdan dapat diterima oleh hakim. Pengakuan adalah meruapakan pernyataan sepihak sehingga tidak memerlukan persetujuan dari para pihak lain terutama dari pihak lawannya. Pengakuan secara lisan harus dilakukan dalam persidangan dan tidak boleh diluar persidangan. Pengakuan secara tertulis boleh dilakukan diluar persidangan dan dihadapan hakim.
5. Pengetahuan hakim
Menurut Wirjono Prodjodikoro yang dimaksud pengetahuan hakim dalah hal yang dialami oleh hakim sendiri selam pemeriksaan perkara dalam sidang. Missal kalau salah satu pihak memajukan sebagai bukti suatu gambar atau suatu tongkat, atau hakim melihat keadaan suatu rumah yang menjadi soal perselisihan d itempat.

B. Beban Pembuktian
Beban Pembuktian dalam pasal 107 UU PTUN bahwa hakim menentukan apa yang harus di buktikan, beban pembuktian dan untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan hakim.

BAB VIII
Putusan dan Pelaksanaan Putusan PTUN

A. Pengertian Putusan
Pada dasarnya penggugat mengajukan suatu gugatan ke pemngadilan adalah bertujuan agar pengadilan melalui hakim dapat menyelesaikan perkaranya dengan mengambil suatu putusan. Putusan yang di ucapkan di persidangan (uitspraak) tidak boleh berbeda dengan yang tertulis (vonnis). Dalam literature Belanda dikenal vonnis dan gewijsde. Vonnis adalah putusan yang mempunyai kekuhukum yang yang pasti, sehingga masih tersedia upaya hukum biasa. Gewijsde adalah putusan yang asudah mempunyai kekuatan hukum yang pasti sehingga hanya tersedia upaya hukum Khusus.
Dalam kaitannya hukum acara PTUN, putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap adalah:
1. Putusan pengadilan tingkat pertama (PTUN) yang sudah tidak dapat dimintakan upaya banding
2. Putusan pengadilan Tinggi (PTUN) yang tidak dimintakan kasasi.
3. Putusan mahkamah agung dalam tingkat kasasi.

B. Putusan PTUN
Putusan Pengadilan diatur dalam pasal 97 UU PTUN. Ketentuamn pasal tersebut memuat prosedur pengambilan putusan yang harus diambil dengan musyawarah di antara majelis hakim, putusan yang diambil dengan suara terbanyak baru dapat dikatakan apabila musyawarah untuk mencap[ai kesepakatan bulat mengalami jalan buntu, apabila keputusan suara terbanyak itu juga mengalami kemacetan, maka barulah putusan dapat diambil oleh ketua majelis.

C. Isi Putusan
Isi putusan dari pasal 97 ayat 7 maka dapat diketahui bahwa isi putusan pengadilan TUn dapat berupa:
1. Apabila isi putusan pengadilan TUN adalah berupa penolakan tewrhadap gugatan pengguagat berarti memperkuat KTUN yang akan dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN yang bersangkutan. Pada umumnya suatu gugatan ditolak oleh majelis hakim, karena alat bukti yang di ajukan pienggugat tidak dapat mendukung gugatannya, atau alat-alat bukti yang diajukan pihak tergugat lebih kuat.
2. Gugatan Dikabulkan
Gugatan dikabulkan adakalnya pengabulan seluruhnya atau menolak sebagian lainnya. Isi pengadilan yang mengabulkan gugatan pihak penggugat itu, berarti tidak membenarkan KTUN yang dikeluarkan oleh pihak tergugat atau tidak membenarkan sikap tidak berbuat apa-apa yang dilakukan oleh tergugat, padahal itu sudah merupakan kewajibannya.
Dalam hal gugatan dikabulkan maka dalam putusan tersebut ditetapkan kewajibyang harus dilakukan oleh tergugat yang dapat berupa:
a. Pencabutan KTUN yang bersangkutan
b. Pencaburtan KTUN yang bersangkutan dan menerbitkan KTUN ynag baru
c. Penerbitan KTUN dalam hal gugatan didasarkan pada pasal 3. Dan pengadilan dapat menetapkan kewajiban piahk tergugat untuk membayar ganti rugi, kompensasi dan rehabilitasi untuk sengketa kepegawaian.
3. Gugatan Tidak Di terima
Putusan pengadilan yang berisi tidak menerima gugatan pihak penggugat, berarti gugatan itu tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan. Persyaratan tersebut sebagaimana yang dimaksud dalam prosedur dismissal dan atau pemeriksaan persiapan.
4. Gugatan Gugur
Putusan pengadilan yang menytakan gugatan gugur dalam hal para piatau kuasanya tidak hadir dalam persidangan yang telah ditentukan dan mereka telah dipanggil secara patut atau perbaikan gugatan yang diajukan oleh pihak pengguagat telah melampaui tenggang waktu yang ditentukan.

D. Susunan Isi Putusan
Dalam pasal 109 UU PTUN disebutkan Susunan isi putusan yaitu:
1. Kepala Putusan
Setiap putusan pengadialan haruslah mempunyai kepala putusan bagian atas putusan yang berbunyi “ demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Apabila tidak ada kalimat itu maka hakim tidak dapat melaksanakan putusan tersebut.
2. Identitas para pihak
Suatu perkara atau gugatan harus ada suekurang-kurangnya dua pihak yaitu penggugat dan tergugat, lalu dimuat dimuat identitas diri.
3. Pertimbangan
Dalam hukum perdata suatau putusan pengadilan harus memuat pertimbangan-pertimbangan yang lazim, karena sebagai pertanggungjawaban kepada masyarakat mengapa ia mengambil putusan yang demikian itu sehingga dapat bernilai obyektif.
4. Amar
Mereupakan jawaban atas petitum dari gugatan sehinngga amar juga merupakan tanggapan atas petitum itu sendiri. Hakim wajib mengadili semua bagian dari tuntutan yang diajukan pihak pengguagat dan dilarang menjatuihkan purtusan atas perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih dari yang dituntut.
I]
E. Biaya Perkara
Seluruh biaya ditanggung oleh pihak yang dikalahkan kecuali menggunakan perkara biaya Cuma-Cuma dan mendapat persetujuan.
Biaya perkara mencakup:
1. Biaya kepaniteraan
2. Biaya saksi, ahli, dan alih bahasa, dengan catatan meminta persetujuan lebih dari 5 orang saksi harus membayarnya meskipun pihak itu memengkannya.
3. Biaya pemeriksaan di tempat lain dari ruangan sidang dan biaya lain atas perintah hakim ketua sidang.

F. Pelaksanaan Putusan (Eksekusi)
Dalam pasal 115 UU PTUN bahwa hanya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang dapat dilaksanakan., jadi putusan pengadilan yang belum memperoleh kekuatan hukum tetap tidak memiliki kekuatan eksekusi.


BAB IX
Upaya-Upaya Hukum

A. Perlawanan
Perlawanan (verzet) merupakan upaya hukum terhadap penetapan yang diputuskan oleh ketua pengadilan dalam rapat permusyawaratan (prosedur dismissal). Perlawanan diajukan oleh penggugat terhadap penetapan dismissal tersebut pada dasarnya membantah alasan-alasan yang digunakan oleh ketua pengadilan.
Perlawanan diperiksa dan diputuskan oleh pengadilan dengan acara singkat. Dalam hala perlawanan dibenarkan oleh pengadilan maka penetapan ketua pengadilan tersebut diatas menjadi gugur demi hukum dan poko gugatanakan diperiksa, diputus, dan diselesaikan menurut acara biasa dan juga sebaliknya.

B. Banding
Dalam pasal 122 UU PTUN bahwahadap putusan PTUN dapat dimintakan pemeriksaan banding oleh penggugat dan tergugat kepada PTTUN. Kedua belah pihak mempunyai hak untuk mengajukan banding.Permohonan pemeriksaan banding diajukan secara tertulis oleh pemohon atau kuasanya yang khusus dikuasakan untuk PTUN yang menjatuhkan putusan dalam tenggang waktu 14 hari setelah putusan yang sah.
Menurut Sudikno Mertokusumo dalam tingkat bandingpun hakim tidak boleh mengabulkan lebih dari pada yang dituntut atau memutuskan hal-hal yang tidak dituntut. Berarti hakim dalam tingkat banding harus membiarkan putusan dalam tingkat peradilan pertama sepanjang tidak dibantah dalam tingkat banding (tantum devolutum quantum apellatum).
Putusan yang tidak dapat dimintakan upaya hukum banding adalah yaitu :
1. Penetapan ketua pengadilan TUN mengenai permohonan secara Cuma-Cuma
2. Penetapan dismissal dari ketua pengadilan TUN, upaya hukum dengan cara perlawanan.
3. Putusan PTUN terhadap Perlawanan yang diajukan penggugat atas penetapan dismissal pada pasal 62 ayat 6 UU PTUN tidak dapat diajukan banding
4. Putusan pengadilan mengenai gugatan perlawanan pihak ketiga sebelum pelaksanaan putusan yang telah berkekuatan tetap (pasal 118 ayat 2 dan 62 dan 63 UU PTUN). Putusan PTUN sebagaiengadilan tingkat pertama yang sudah tidak dapat dilawan atau dimnintakan pemeriksaan banding lagi.

C. Kasasi
Kasasi diatur dalam pasal 131 UU PTUN. Pemeriksaan kasasi untuk perkara yang diputuskan oleh pengadilan di lingkungan peradilan agama atau di lingkungan PTUN. Tenggang waktu mengajukan kasasi 14 hari setelah putusan yang dimaksud diberitahu kepada pemohon. (UU nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dalam pasal 46 ayat 1).
Permohonan upaya hukum kasasi dapat diajukan dalam hal:
1. Upaya hukum kasasi belum pernah diajukan
2. Permohonan kasasi dapat dilakukan apabila telah melakukan upaya hukum banding.
3. Pihak yang dapat melakukan upaya hukum kasasi adalah pihak yang berperkara, pihak ketiga tidak boleh.
Mahkamah Agung membatalakan putusan atau penetapan pengadilan karena :
1. Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang
2. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku.
3. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam.
Alasan diatas karena diketahui bahwa didalam tingkat kasasi tidak diperiksa tentang duduknya perkara atau faktanya tetapi tentang hukumnya sehingga terbukti tidaknya peristiwa tidak akan diperiksa.

D. Peninjauan Kembali
Pasal 132 UU PTUN tentang peninjauan kembali. Alasan-alasan mengajukan permohonan peninjauan kembali pada pasal 67 UUMA. Tenggang waktu mengajukan peninjauan kembali adalah 180 hari setelah keputusan pengadilan (pasal 69 UUMA).
Berdasarkan pasal 68 UUMA dapat diketahui bahwa yang dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali adalah para pihak yang berperkara atau ahli warisnya atau seorang wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu. Selama peninjauan kembali berlangsung pemohon meninggal dunia, permohonan itu dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar